twitter


Senja Band - Cahaya Hati.wma - 4shared.com - berbagi-pakai musik dan mp3 - unduh: Senja Band - Cahaya Hati.wma


Berikut ini sebuah cerita dari Bayazid Al-Busthami, yang insha’allah, dapat kita ambil pelajaran daripadanya; Di samping seorang sufi, Bayazid juga adalah pengajar tasawuf. Di antara jamaahnya, ada seorang pelajar yang juga memiliki murid yang banyak. Pelajar itu juga menjadi guru bagi jamaahnya sendiri. Kerana telah memiliki murid, pelajar ini selalu memakai pakaian yang menunjukkan kesalihannya, seperti baju putih, serban, dan wewangian tertentu.

Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru, saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.”

Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.”

Murid itu hairan, “Mengapa, ya Tuan Guru?”

“Kerana kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid.

“Bolehkah kau ubati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid.

“Boleh,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.”

“Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu.

“Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu”. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak-anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mahu menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”

“Subhanallah, masha’allah, lailahailallah“, kata murid itu terkejut.

Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.”

Murid itu keheranan, “Mengapa boleh begitu?”

Bayazid menjawab, “Kerana kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan Maha Suci, seakan-akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.”

“Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.”

Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”

Cerita ini mengandung pelajaran yang amat berharga. Bayazid mengajarkan bahawa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi kerana takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derjat yang serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi kerana amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita boleh mencapai hadirat Allah swt.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak. Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat ku pegang teguh?” Nabi menjawab, “Katakanlah, Tuhanku Allah, kemudian ber- istiqamah-lah kamu.”

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai pelaburan.

Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majlis dan diberi tempat duduk yang paling utama.


Artikel ini bagi semua wanita yang mengaku beragama Islam tanpa terkecuali dan referensi bagi para Ayah untuk Anaknya, para Suami untuk Istrinya, para lelaki yang mempunyai adik atau kakak perempuannya.

Akhir-akhir ini banyak sekali kita jumpai kaum Muslimah, baik remaja maupun dewasa mengenakan pakaian Muslimah dengan berbagai warna, corak dan model. Jika kita cermati, tidak semua kaum Muslim memiliki pandangan yang jelas tentang pakaian Muslimah. Faktanya, banyak wanita yang mengenakan kerudung hanya menutupi rambut saja, sedangkan leher dan sebagian lengan masih tampak. Ada juga yang berkerudung tetapi tetap memakai busana yang ketat, misalnya, sehingga lekuk tubuhnya tampak. Yang lebih menyedihkan adalah ada sebagian kalangan yang masih ragu terhadap pensyariatan Islam tentang pakaian Muslimah ini.

Di samping itu, masih banyak juga di yang memahami secara rancu kerudung dan jilbab. Tidak sedikit yang menganggap bahwa jilbab adalah kerudung dan sebaliknya. Padahal, jilbab dan kerudung adalah dua perkara yang berbeda.

Menutup Aurat

Menutup aurat dan pakaian Muslimah ketika keluar rumah merupakan dua pembahasan yang terpisah, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya memang telah memisahkannya. Menutup aurat merupakan kewajiban bagi seluruh kaum Muslim, laki-laki dan perempuan. Untuk kaum Muslimah, Allah Swt. telah mengatur ihwal menutup aurat ini al-Quran surat an-Nur ayat 31:


وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kehormatannya; janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak padanya. Wajib atas mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS an-Nur [24]: 31).

Frasa mâ zhahara minhâ (yang biasa tampak padanya) mengandung pengertian wajah dan kedua telapak tangan. Hal ini dapat dipahami dari beberapa hadis Rasulullah saw., di antaranya: Pertama, hadis penuturan ‘Aisyah r.a. yang menyatakan (yang artinya):

Suatu ketika datanglah anak perempuan dari saudaraku seibu dari ayah ‘Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tetapi tiba-tiba Rasulullah saw. masuk seraya membuang mukanya. Aku pun berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung.” Beliau kemudian bersabda, “Apabila seorang wanita telah balig, ia tidak boleh menampakkan anggota badannya kecuali wajahnya dan ini.” Ia berkata demikian sambil menggenggam pergelangan tangannya sendiri dan dibiarkannya genggaman telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya). (HR Ath-Thabari).

Kedua, juga hadis penuturan ‘Aisyah r.a. yang menyakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«قَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ»

Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita, apabila telah balig (mengalami haid), tidak layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan telapak tangannya). (HR Abu Dawud).

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa yang biasa tampak adalah muka dan kedua telapak tangan, sebagaimana dijelaskan pula oleh para ulama, bahwa yang dimaksud adalah wajah dan telapak tangan (Lihat: Tafsîr ash-Shabuni, Tafsîr Ibn Katsîr). Ath-Thabari menyatakan, “Pendapat yang paling kuat dalam masalah itu adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak adalah muka dan telapak tangan.” (Tafsîr ath-Thabari).

Jelaslah bahwa seorang Muslimah wajib untuk menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Artinya, selain wajah dan telapak tangan tidak boleh terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram-nya.

Pakaian Wanita dalam Kehidupan Umum



Selain aturan tentang menutup aurat, Allah Swt. pun memberikan aturan yang sama rincinya tentang pakaian wanita dalam kehidupan umum, yaitu jilbâb (jilbab, abaya) dan khimâr (kerudung).

Dalam kesehariannya, wanita tidak menutup kemungkinan untuk keluar rumah untuk memenuhi hajatnya; ke pasar, ke mesjid, ke rumah keluarga dan kerabatnya, dan lain-lain. Kondisi ini memungkinkan terjadinya interaksi atau pertemuan dengan laki-laki. Islam menetapkan, ketika seorang wanita ke luar rumah, ia harus mengenakan khim‰r (kerudung) dan jilbab.

Allah Swt. berfirman:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimâr) ke dada-dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).

Dari ayat ini tampaka jelas, bahwa wanita Muslimah wajib untuk menghamparkan kerudung hingga menutupi kepala, leher, dan juyûb (bukaan baju) mereka.
Sementara itu, mengenai jilbab, Allah Swt. berfirman dalam ayat yang lain:


يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59).

Kata jalâbîb yang terdapat dalam ayat tersebut adalah jamak dari jilbâb. Secara bahasa, jilbab adalah sejenis mantel atau baju yang serupa dengan mantel (Lihat: Kamus al-Muhith). Menurut beberapa pendapat ulama tafsir, pengertiannya adalah sebagai berikut:

1. Kain penutup atau baju luar/mantel yang menutupi seluruh tubuh wanita.
(Tafsîr Ibn ‘Abbas, hlm, 137).
2. Baju panjang (mulâ’ah) yang meliputi seluruh tubuh wanita. (Imam an-Nawawi,
dalam Tafsîr Jalalyn, hlm. 307).
3. Baju luas yang menutupi seluruh kecantikan dan perhiasan wanita. (Ali
ash-Shabuni, Shafwah at-Tafâsîr, jld. 2, hlm. 494)
4. Pakaian seperti terowongan (baju panjang yang lurus sampai ke bawah) selain
kerudung. (Tafsîr Ibn Katsîr). Intinya, Allah memerintahkan kepada Nabi agar
menyeru istri-istrinya, anak-anak wanitanya, dan wanita-wanita Mukmin secara
umum—jika mereka keluar rumah untuk memenuhi hajatnya—untuk menutupi seluruh
badannya, kepalanya, dan juga juyûb mereka, yaitu untuk menutupi dada-dada mereka.
6. Pakaian yang lebih besar dari khimâr (kerudung). Ibn ‘Abbas dan Ibn Mas‘ud
meriwayatkan, bahwa jilbab adalah ar-rada’u, yaitu terowongan (pakaian yang lurus
tanpa potongan yang menutupi seluruh badan). (Tafsîr al-Qurthubi).


Lalu bagaimana keadaan wanita-wanita pada masa Rasulullah saw. ketika mereka keluar rumah? Hal ini akan tampak dari sebuah hadis berikut:

«قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا»

Kami, para wanita, diperintahkan oleh Rasulullah untuk keluar pada saat Idul Fitri dan Idul Adha, baik para gadis, wanita yang sedang haid, maupun gadis-gadis pingitan. Wanita yang sedang haid diperintahkan meninggalkan shalat serta menyaksikan kebaikan dan dakwah (syiar) kaum Muslim. Aku bertanya, “ Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab. Rasulullah saw. bersabda: Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (HR Muslim).

Hadis di atas mengandung pengertian, bahwa ada salah seorang shahabiyah yang tidak memiliki pakaian (jilbab) untuk digunakan ke luar rumah; ia hanya memiliki pakaian rumah. Rasulullah saw. sendiri telah memerintahkan kepada semua wanita, bahkan wanita yang haid dan yang berada dalam pingitan sekalipun, untuk keluar shalat Id dan menyaksikan syiar/dakwah Islam. Lalu kemudian wanita tersebut mengadukan kondisi dirinya. Rasulullah saw. kemudian memerintahkan kepada wanita-wanita yang lain untuk meminjamkan pakaian luarnya kepada wanita tersebut agar wanita tersebut bisa keluar rumah untuk memenuhi seruan beliau.
Jika anda masih kurang yakin dengan jilbab yang disebut baju luar, Ayat al-Quran berikut lebih menguatkan hadits di atas bahwa wanita punya namanya pakaian luar (jilbab/gamis/abaya) dan pakaian dalam (al-mihnah):

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada keinginan untuk menikah lagi, tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka (pakaian luar) dengan tidak menampakkan perhiasan. (QS an-Nur [24]: 60).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa wanita-wanita yang sudah mengalami menopouse boleh untuk menanggalkan jilbab (pakaian luar)-nya. Akan tetapi, mereka tetap wajib untuk menutup auratnya.

Dari beberapa nash dan keterangan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa jilbab adalah pakaian luar (menyerupai mantel) yang luas dan tidak terputus (seperti terowongan) yang menutupi pakaian rumah/pakaian sehari-harinya (al-mihnah) dan seluruh bagian tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangan.
Dengan demikian, jilbab dan kerudung merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya merupakan perkara yang diwajibkan oleh Allah Swt. untuk dikenakan seorang Muslimah ketika hendak keluar rumah. Mudah-mudahan Allah Swt. memudahkan kita untuk melaksanakan setiap kewajiban yang telah Allah tetapkan serta mengokohkan iman kita dengan menjadikan kita senantiasa tunduk dan terikat dengan hukum-hukum-Nya.

Sumber Rujukan:

1. Taqiyyuddin an-Nabhani, an-Nizhâm al-Ijtimâ‘î fî al-Islâm, Darul Ummah.
2. Tafsîr Ibn ‘Abbas.
3. Tafsîr Ibn Katsîr.
4. Tafsîr Jalâlayn.
5. ‘Ali ash-Shabuni, Ash-Shafwat at-Tafâsîr,
6. Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân.


Salam adalah ucapan yang bermakna do'a bukan saja bagi yang menyapa tapi juga bagi yang disapa. Salam juga merupakan penghormatan, atau kata lainnya "tahiyyatul Islam"(penghormatan Islam). Jadi disaat seseorang mengucapkan salam, itu berarti dia mendo'akan juga sekaligus menghormati orang yang diajak bicara. Selanjutnya orang yang diajak bicara wajib menjawab dan membalas penghormatan tersebut . Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa) sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu".(QS. An-Nisaa[4] : 86)

Dalam kitab Risaalatul Mu'awanah dijelaskan bahwa di saat dua orang muslim berpapasan maka Allah akan menurunkan 100 kebaikan, 90 kebaikan diberikan kepada orang yang pertama kali mengucapkan salam. Sedangkan sisanya(10) diberikan kepada orang yang menjawab. Di sini kita diberi motivasi untuk selalu mengucapkan salam kepada siapa saja selama orang itu kita anggap sebagai muslim. Dengan salam secara tidak langsung kita telah dianjurkan untuk saling mendo'akan. Juga dengan salam diharapkan akan tumbuh ikatan persaudaraan yang saling mencintai sesama manusia. Rasulullah SAW, bersabda:"Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman sehingga kamu saling mencintai, apakah aku tidak perlu menunjukkan kepadamu pada sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Maka sebarkanlah salam diantara kamu". (HR. Muslim)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Sunni dari Abu Umamah, beliau berkata: "Nabi kita(Muhammad SAW) memerintahkan kepada kami supaya menyebarkan salam". Dalam kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dijelaskan tentang kaifiyyah/tata cara dalam salam. Di saat seseorang mengucapkan: "Assalaamu'alaikum", (salam sejahtera semoga Allah limpahkan padamu)maka jawabnya adalah: " Wa 'alaikumus salaam warohmatullah".(dan salam sejahtera semoga Allah limpahkan juga kepadamu beserta rahmat-Nya). Sedangkan bila yang menyapa mengucapkan: "Assalaamu 'alaikum warohmatullah",(salam sejahtera semoga Allah limpahkan kepadamu beserta rahmat-Nya) maka jawabnya:"Wa 'alaikumus salam warohmatullaahi wa barokaatuh".(dan salam sejahtera semoga Allah limpahkan juga kepadamu beserta rahmat dan keberkahan-Nya). Sedangkan bila yang menyapa mengucapkan: "Assalaamu 'alaikum warohmatullaahi wa barokaatuh",(salam sejahtera semoga Allah limpahkan kepadamu beserta rahmat dan barokah-Nya). Maka jawabnya adalah: "Wa 'alaikumus salaam warohmatullaahi wa barokaatuh wa magfirotuh wa ridhwaanuh".(dan salam sejahtera juga semoga Allah limpahkan kepadamu, beserta rahmat-Nya, barokah-Nya, pengampunan-Nya dan keridhaan-Nya).

Bila ditinjau dari sisi hukum Islam, mengucapkan salam adalah sunnat(dikerjakan mendapat pahala bila ditinggalkan tidak apa-apa). Sedangkan menjawab salam hukumnya adalah fardhu 'ain(kewajiban individu) jika sendirian, dan fardhu kifayah(kewajiban yang bisa diwakili) jika banyak orang. Jadi apabila ada seorang saja yang menjawab salam maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Sedangkan jika tidak ada seorangpun yang menjawab maka berdosalah seluruhnya.

Selanjutnya jika ada orang yang menitip salam buat kita maka kita harus menjawab titipan salam itu tidak hanya bagi orang yang menitip salam saja tapi juga bagi orang yang dititipinya(penyampai) dengan ucapan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu ucapan: "Wa 'alaika wa alaihis salaam"(kepadamu juga kepadanya semoga terlimpah salam sejahtera). Kemudian apabila kita hendak masuk rumah atau bangunan yang di dalamnya tidak ada seorangpun maka ucapan salamnya adalah"assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahis shaalihiin".(salam sejahtera semoga terlimpah kepada kita sekalian dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih) Salam adalah do'a yang dikhususkan bagi kaum muslimin, maka apabila ada non muslim yang mengucapkan salam kepada kita maka jawablah "wa 'alaikum"(dan kecelakaanlah bagimu). Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW, bersabda: "Jika salam kepadamu seorang ahli kitab( yahudi dan nashrani) maka jawablah: "wa'alaikum". Juga perlu diketahui salam bukanlah untuk dipermainkan, maka apabila ada seseorang mengucapkan salam kepada seorang wanita yang cantik yang tujuannya hanya untuk mengganggu, maka si wanita itu tidak wajib untuk menjawab salam tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi.

Tentang aturan mengucapkan salam, Nabi SAW, bersabda: "Salamlah orang yang berkendaraan kepada orang yang jalan kaki, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang muda kepada yang tua". (HR. Bukhari dan Muslim). Sudah merupakan kebiasaan di dalam Islam apabila dua orang muslim bertemu kemudian mengucapkan salam biasanya selalu diikuti dengan mushafahah(bersalaman).

Nabi SAW, bersabda: "Tidaklah dari dua orang muslim yang bertemu lalu bersalaman, kecuali Allah akan mengampuni keduanya sebelum berpisah (kedua tangan mereka lepas)".(HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah)

Dalam hadits lain Nabi SAW, bersabda lagi: "Apabila bertemu dua orang muslim, lalu bersalaman serta memuji Allah, Kemudian saling memaafkan, maka Allah 'Azza wa Jalla akan mengampuni keduanya".(HR. Ibnu Sunni).
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah, ada beberapa hal yang perlu kita teladani tentang etika salam dan mushafahah ini. Beliau tidak pernah melepaskan tangannya terlebih dahulu di saat bersalaman sebelum orang lain melepaskannya. Karena memang dalam hadits tadi pun sangat jelas bahwa Allah akan memberikan pengampunan kepada dua orang yang bersalaman selama tangan mereka masih bersatu. Jadi lebih lama tangan bersatu maka lebih banyak pengampunan yang diberikan.

Untuk memahami pernyataan di atas, mushafahah/bersalaman seperti itu hanya berlaku bagi sesama jenis, sedangkan jika dengan lawan jenis hal itu dilarang bahkan diharamkan, seperti misalnya bersalaman dengan wanita cantik. Untuk masalah ini jangankan bersalaman memandang dengan pandangan syahwat saja sudah dilarang, kecuali antara suami istri.

Kemudian muncul permasalahan, bagaimana jika mushafahah itu dibarengi dengan cium tangan. Imam An-Nawawi membahas, bahwa jika seseorang mencium tangan orang lain karena kezuhudannya, kesholihannya, ilmunya, kemuliaannya, kewaroannya maka hal itu diperbolehkan bahkan dianjurkan. Misalnya: anak kepada bapak atau ibunya. Tetapi jika cium tangan yang dilakukannya itu karena kekayaannya, duniawinya, jutawannya, kegagahannya, keagungannya, kedudukan dan pangkatnya maka hal itu adalah makruh. Sedangkan kalau menurut Imam Mutawalli hukumnya haram.


Salam adalah ucapan yang bermakna do'a bukan saja bagi yang menyapa tapi juga bagi yang disapa. Salam juga merupakan penghormatan, atau kata lainnya "tahiyyatul Islam"(penghormatan Islam). Jadi disaat seseorang mengucapkan salam, itu berarti dia mendo'akan juga sekaligus menghormati orang yang diajak bicara. Selanjutnya orang yang diajak bicara wajib menjawab dan membalas penghormatan tersebut . Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa) sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu".(QS. An-Nisaa[4] : 86)

Dalam kitab Risaalatul Mu'awanah dijelaskan bahwa di saat dua orang muslim berpapasan maka Allah akan menurunkan 100 kebaikan, 90 kebaikan diberikan kepada orang yang pertama kali mengucapkan salam. Sedangkan sisanya(10) diberikan kepada orang yang menjawab. Di sini kita diberi motivasi untuk selalu mengucapkan salam kepada siapa saja selama orang itu kita anggap sebagai muslim. Dengan salam secara tidak langsung kita telah dianjurkan untuk saling mendo'akan. Juga dengan salam diharapkan akan tumbuh ikatan persaudaraan yang saling mencintai sesama manusia. Rasulullah SAW, bersabda:"Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman sehingga kamu saling mencintai, apakah aku tidak perlu menunjukkan kepadamu pada sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Maka sebarkanlah salam diantara kamu". (HR. Muslim)
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Sunni dari Abu Umamah, beliau berkata: "Nabi kita(Muhammad SAW) memerintahkan kepada kami supaya menyebarkan salam". Dalam kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi dijelaskan tentang kaifiyyah/tata cara dalam salam. Di saat seseorang mengucapkan: "Assalaamu'alaikum", (salam sejahtera semoga Allah limpahkan padamu)maka jawabnya adalah: " Wa 'alaikumus salaam warohmatullah".(dan salam sejahtera semoga Allah limpahkan juga kepadamu beserta rahmat-Nya). Sedangkan bila yang menyapa mengucapkan: "Assalaamu 'alaikum warohmatullah",(salam sejahtera semoga Allah limpahkan kepadamu beserta rahmat-Nya) maka jawabnya:"Wa 'alaikumus salam warohmatullaahi wa barokaatuh".(dan salam sejahtera semoga Allah limpahkan juga kepadamu beserta rahmat dan keberkahan-Nya). Sedangkan bila yang menyapa mengucapkan: "Assalaamu 'alaikum warohmatullaahi wa barokaatuh",(salam sejahtera semoga Allah limpahkan kepadamu beserta rahmat dan barokah-Nya). Maka jawabnya adalah: "Wa 'alaikumus salaam warohmatullaahi wa barokaatuh wa magfirotuh wa ridhwaanuh".(dan salam sejahtera juga semoga Allah limpahkan kepadamu, beserta rahmat-Nya, barokah-Nya, pengampunan-Nya dan keridhaan-Nya).

Bila ditinjau dari sisi hukum Islam, mengucapkan salam adalah sunnat(dikerjakan mendapat pahala bila ditinggalkan tidak apa-apa). Sedangkan menjawab salam hukumnya adalah fardhu 'ain(kewajiban individu) jika sendirian, dan fardhu kifayah(kewajiban yang bisa diwakili) jika banyak orang. Jadi apabila ada seorang saja yang menjawab salam maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Sedangkan jika tidak ada seorangpun yang menjawab maka berdosalah seluruhnya.

Selanjutnya jika ada orang yang menitip salam buat kita maka kita harus menjawab titipan salam itu tidak hanya bagi orang yang menitip salam saja tapi juga bagi orang yang dititipinya(penyampai) dengan ucapan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu ucapan: "Wa 'alaika wa alaihis salaam"(kepadamu juga kepadanya semoga terlimpah salam sejahtera). Kemudian apabila kita hendak masuk rumah atau bangunan yang di dalamnya tidak ada seorangpun maka ucapan salamnya adalah"assalaamu 'alainaa wa 'alaa 'ibaadillaahis shaalihiin".(salam sejahtera semoga terlimpah kepada kita sekalian dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih) Salam adalah do'a yang dikhususkan bagi kaum muslimin, maka apabila ada non muslim yang mengucapkan salam kepada kita maka jawablah "wa 'alaikum"(dan kecelakaanlah bagimu). Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi SAW, bersabda: "Jika salam kepadamu seorang ahli kitab( yahudi dan nashrani) maka jawablah: "wa'alaikum". Juga perlu diketahui salam bukanlah untuk dipermainkan, maka apabila ada seseorang mengucapkan salam kepada seorang wanita yang cantik yang tujuannya hanya untuk mengganggu, maka si wanita itu tidak wajib untuk menjawab salam tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi.

Tentang aturan mengucapkan salam, Nabi SAW, bersabda: "Salamlah orang yang berkendaraan kepada orang yang jalan kaki, orang yang berjalan kepada orang yang duduk, orang yang sedikit kepada orang yang banyak, orang yang muda kepada yang tua". (HR. Bukhari dan Muslim). Sudah merupakan kebiasaan di dalam Islam apabila dua orang muslim bertemu kemudian mengucapkan salam biasanya selalu diikuti dengan mushafahah(bersalaman).

Nabi SAW, bersabda: "Tidaklah dari dua orang muslim yang bertemu lalu bersalaman, kecuali Allah akan mengampuni keduanya sebelum berpisah (kedua tangan mereka lepas)".(HR. Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah)

Dalam hadits lain Nabi SAW, bersabda lagi: "Apabila bertemu dua orang muslim, lalu bersalaman serta memuji Allah, Kemudian saling memaafkan, maka Allah 'Azza wa Jalla akan mengampuni keduanya".(HR. Ibnu Sunni).
Dalam sejarah kehidupan Rasulullah, ada beberapa hal yang perlu kita teladani tentang etika salam dan mushafahah ini. Beliau tidak pernah melepaskan tangannya terlebih dahulu di saat bersalaman sebelum orang lain melepaskannya. Karena memang dalam hadits tadi pun sangat jelas bahwa Allah akan memberikan pengampunan kepada dua orang yang bersalaman selama tangan mereka masih bersatu. Jadi lebih lama tangan bersatu maka lebih banyak pengampunan yang diberikan.

Untuk memahami pernyataan di atas, mushafahah/bersalaman seperti itu hanya berlaku bagi sesama jenis, sedangkan jika dengan lawan jenis hal itu dilarang bahkan diharamkan, seperti misalnya bersalaman dengan wanita cantik. Untuk masalah ini jangankan bersalaman memandang dengan pandangan syahwat saja sudah dilarang, kecuali antara suami istri.

Kemudian muncul permasalahan, bagaimana jika mushafahah itu dibarengi dengan cium tangan. Imam An-Nawawi membahas, bahwa jika seseorang mencium tangan orang lain karena kezuhudannya, kesholihannya, ilmunya, kemuliaannya, kewaroannya maka hal itu diperbolehkan bahkan dianjurkan. Misalnya: anak kepada bapak atau ibunya. Tetapi jika cium tangan yang dilakukannya itu karena kekayaannya, duniawinya, jutawannya, kegagahannya, keagungannya, kedudukan dan pangkatnya maka hal itu adalah makruh. Sedangkan kalau menurut Imam Mutawalli hukumnya haram.